Jumat, 08 Juni 2012

Bagaimana Alkitab ditulis?

Alkitab adalah Firman Tuhan yang diilhamkan kepada manusia, yakni para penulisnya. Apa maksud? Kata ‘diilhamkan’ dalam bahasa Yunani berarti ‘dinafaskan’. Konten Alkitab kita dinafaskan oleh Tuhan sendiri kepada lebih dari 40 penulisnya. Buktinya? Isi Alkitab, dari awal sampai akhir, ditulis selama berabad-abad oleh 40 orang dari berbagai waktu hidup yang berlainan, tapi... amazing, kita bisa ngeliat adanya kesatuan tema dan konsistensi yang menggambarkan adanya tuntunan Ilahi untuk mengabarkan berita keselamatan.

Naah, karena prosesnya yang melibatkan begitu banyak manusia, banyak orang mencemooh mengatakan bahwa Alkitab hanyalah buah tangan manusia. Kita harus inget guys, Alkitab dibuat oleh orang yang hidup bergaul dengan Allah. Ibaratnya, seperti teman karib yang udah kenal lama, sampe-sampe yang satu bisa tahu maksud temennya bahkan sebelum dia bicara. Hanya karena Tuhan memakai manusia sebagai penulis, nggak berarti Alkitab kehilangan kredibiltasnya. Kerja sama yang indah antara manusia dan Allah dalam penyusunan Alkitab ini kerap disebut dengan istilah ‘dual authorship’ atau kepenulisan berganda.

Alkitab memang nggak diturunkan dalam rupa paket siap pakai dari langit, itu karena Tuhan ingin memberikan Firman-Nya dalam wujud yang manusiawi, agar bisa dipahami oleh sebanyak mungkin orang. Di Perjanjian Baru, Tuhan Yesus sendiri pernah bersabda bahwa Perjanjian Lama merupakan ‘Firman Allah’. Di Perjanjian Baru, Kristus pun nggak pernah lepas dari kitab-kitab; Ia kerap mendasarkan sabda-Nya dari ajaran kitab. Misalnya, ketika dicobai iblis di gurun, Tuhan melawannya dengan memakai kata-kata dari kitab suci.
“Kitab Suci tidak dapat dibatalkan” (Yohanes 10:35).

Kanonisasi Alkitab
Alkitab yang kita miliki, pada dasarnya seperti sebuah perpustakaan karena di dalam terdapat banyak buku (27 buku di Perjanjian Lama dan 39 buku di Perjanjian Baru), dan kontennya pun beragam sekali, dari sejarah, puisi, lagu, kitab hukum, surat, dll... Lalu gimana kita bisa yakin kalo buku-buku tersebut memang udah tepat dimasukkan dalam Alkitab? Cekidot!
Kanon dalam bahasa Yunani artinya buluh alias alat ukur. Kenapa? Karena Alkitab adalah tolok ukur bagi iman dan pengajaran Kristiani. Kanonisasi Alkitab yang kita pegang sekarang itu melalui proses lebih dari 1000 tahun loh guys. Proses kanon pada dasarnya adalah proses ‘audisi’ untuk menentukan mana yang berhak lolos ke dalam Alkitab, dan mana yang nggak.

Emang apa aja syarat biar bisa lolos ke dalam kanon yang ada sekarang?

• Narasumber yang Kompeten
Tulisan itu harus bersumber dari saksi mata langsung atau orang yang pernah menjadi pengikut Yesus sendiri.
• Punya Benang Merah
Meski berisi kisah yang beragam, tapi kitab itu harus memiliki benang merah yang sejalan dengan ajaran Kristus
•Super Antik
Salah satu pertimbangan dalam memilih kitab adalah dengan memakai kitab yang paliiiing kuno, yang paling mendekati masa hidup Yesus. Biar orisinalitasnya terjaga.
•Terpercaya
Kitab itu harus memiliki kredibilitas di mata jemaat, dan telah dipakai secara luas dalam komunitas yang besar. Biasanya, di jemaat telah terjadi proses ‘seleksi alam’ sendiri; kitab yang ganjil-ganjil dengan sendirinya gugur.
•Dapat Diterima
Kitab tersebut nggak boleh mengandung ‘rahasia-rahasia’ aneh yang berlebihan atau sulit dipahami... bukankah Kristus ingin sebanyak mungkin orang mengenal ajaranNya?
•Membangun Iman
Isi sebuah kitab harus membangun iman jemaatnya. Misalnya, ada tulisan kuno mengenai tokoh Alkitab. Tapi isinya sekedar menceritakan rutinitas dia sehari-hari. Lah, apa gunanya dimasukin Alkitab?

Kanon Perjanjian Lama
Do you know, guys… Perjanjian Lama yang kita kenal sekarang udah disusun oleh orang-orang Yahudi ratusan tahun sebelum Kristus lahir! Perjanjian Lama mula-mula ditulis dalam bahasa Ibrani (kecuali untuk Daniel dan Ezra yang ditulis dalam bahasa Aram). Naskah PL ini hingga sekarang masih dipakai dalam ibadah-ibadah orang Yahudi. Naskah PL ini juga menjadi pegangan jemaat Kristen mula-mula, sebelum Perjanjian Baru dikenal.
Lima kitab pertama PL diresmikan oleh para petinggi agama Yahudi pada abad 5 SM, lalu kitab nabi-nabi pada abad ke 3 SM dan menyusul surat-surat pada tahun 90 M.
Mulanya, semua kitab PL hanya tersedia dalam bahasa Ibrani. Padahal waktu itu banyak orang Yahudi bermukim dan bekerja di Roma dan negara-negara lain, sehingga keturunan-keturunannya udah nggak bisa bahasa Yahudi lagi. Ealah, gimana mau baca kitab suci kalo gitu? Makanya ngumpullah 72 orang sarjana yang secara bersamaan menerjemahkan naskah PL dari bahasa Ibrani ke Yunani. Miraculously, mereka sama-sama kelar bekerja pada hari ke 72 dan hasil terjemahan ke 72 orang itu persis sama! Naskah terjemahan itu disebut dengan nama Septuaginta (Romawi LXX 70). Oh iya, naskah Septuaginta atau naskah PL mula-mula, isinya 39 kitab PL yang kita kenal sekarang plus Deutrokanonika.
Deutrokanonika kini masih dipakai dalam Alkitab Katolik tapi nggak ditemukan dalam Alkitab Kristen. Kenapa? Para ahli kitab memiliki perbedaan pendapat mengenai Deutrokanonika, ada yang berpendapat kitab-kitab ini sebaiknya dipakai untuk konsumsi kalangan terbatas saja karena bisa membuat bingung pembaca awam yang nggak punya dasar pemahanan kitab yang kuat.

Kanon Perjanjian Baru
Kanon Perjanjian Baru disusun oleh orang Kristen jemaat mula-mula dari abad 1-3 M. Proses kanon PB ini lebih riweuh dari yang PL, memakan waktu 4-5 abad baru final, apalagi banyak naskah ganjil yang beredar kala itu (baca section berikutnya) yang menambah tantangan dalam menyortir mana yang masuk dan yang nggak. Naskah Perjanjian Baru yang mula-mula ini ditulis dalam bahasa Yunani, semuanya ditulis oleh Rasul-Rasul dan rekan sepelayanan mereka.
Bahan-bahan Perjanjian Baru sendiri mulai ditulis dari tahun 70 sampai abad pertama (note: yap, dan pada waktu ini PL sudah kelar di-kanon). Kisah mengenai karya Kristus yang mendominasi PB pada mulanya menyebar dari mulut ke mulut, dan baru beberapa tahun kemudian dituliskan. Manuskrip PB yang ada pada para ahli kitab berjumlah 24.000 kopi dan setelah diuji, tingkat presisinya mencapai 99.5%!
Setelah kanon diputus, kita nggak bisa lagi menambah atau mengurangi isinya. Makanya kitab-kitab di luar itu disebut tulisan non-kanonik atau ekstra-kanonik, alias di luar kanon. Psst tahu nggak, dalam proses penyusunan kanon, kitab Wahyu dan Surat Ibrani adalah kitab yang paling lama diperdebatkan posisinya.
“The cannon cannot be remade for the simple reason that history cannot be remade”
–Bruce Metzger-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar